Jumat, 04 Januari 2013

mujmal dan mubayyan

BAB I
PENDAHULUAN
Untuk menggali hukum terutama hokum syariah, tidak terlepas dari pembahasan kebahasan karena hampir delapan puluh persen penggalian hukum syari’ah menyangkut lafazh. Sebenarnya, lafazh-lafazh yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas supaya tidak membingungkan para pelaku hukum. Namun dalam kenyataannya, petunjuk (dilalah) lafazh-lafazh yang terdapat dalam nash syara’ itu beranika ragam. Bahkan, ada yang kurang jelas (khafa). Nah disini saya akan menjelaskan tentang mujmal dan mubayyan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Mujmal
Menurut bahasanya ialah:
اَلْمُبْهَمُ
Tidak terang atau samar-samar.
Menurut istilah:
لفظ خفي المراد منه بحيث لا يدرك الا ببيان من المتكلم به
Suatu lafal yang tersembunyi apa yang dimaksud dengannya, sehingga tidak dapat dietahui, kecuali dengan adanya keterangan dari yang mengucapkannya[1]
Lafazh mujmal dalam arti sederhana adalah :
اللفظ الذى ينطوى معناه على عدة احوال واحكام قد جمعت فيه
Lafazh yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul didalamnya.
Lafazh mujmal ini adalah lafazh yang samar, karena dari segi sighatnya sendiri tidak menunjukkan arti yang dimaksud; tidak pula dapat ditemukan qarinah yang dapat menghantarkan kita memahami maksudnya, tidak mungkin pula dapat difahami arti yang dimaksud kecuali dengan penjelasan syari’ (pembuat hukum) sendiri. (Amir Syarifuddin, jilid II, 2008: 20).[2]
Dari definisi tersebut, dapat difahami bahwa Mujmal itu adalah suatu lafazh yang dzatiahnya khafi, tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penjelasan dari syara’ baik ketidak jelasannya itu akibat peralihan lafazh dari makna yang jelas pada makna khusus yang dikehendaki syara’ ataupun karena sinonim lafazh itu sendiri ataupun karena lafazh itu ganjil artinya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mujmal lebih tinggi kadar khafa-nya dari pada musykil, sebab penjelasan mujmal diperoleh dari syara’ bukan hasil ijtihad. Contohnya lafazh shalat, menurut bahasa berarti doa, tetapi menurut istilah syara’ adalah ibadah khusus yang segala sesuatunya dijelaskan oleh Rasulullah saw.
Dari aspek keharusan adanya penjelasan dari syara’ tentang lafazh mujmal itu timbul masalah, yaitu sejauh manakah penjelasan syara’ itu. Sunnah dapat memberikan penjelasan mujmal sepanjang tidak ada penjelasan nash Al-Quran. Oleh sebab itu untuk mencari penjelasan mujmal terlebih dahulu harus melihat nash Al-Quran.
            Contoh lafal yang mujmal, sebagaimana firman Allah:
المطلقَّات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
“Perempuan yang diceraikan suaminya, menantikan iddahnya tiga quru” (Q.S.al-baqarah : 228)
            Lafal quru ini disebut mujmal karena mempunyai dua arti, yaitu haid atau suci. Kemudian mana diantara dua macam arti yang dikehendaki oleh ayat tersebut maka diperlukan penjelasan, yaitu bayan. Itulah suatu contoh ijmal dalam lafal tunggal.
            Contoh dalam lafal murakkah (susunan kata-kata) sebagai berikut:
او يعفوالذى بيده عقدة النكاح . (البقره : ۲۳٧)
“Atau orang yang memegang ikatan pernikahan memaafkan”. (Q.S. Al-Baqarah : 237)
            Dalam ayat tersebut masih terdapat Ijmal tentang menentukan siapakah yang dimaksud orang yang memegang kekuasaan atas ikatan pernikahan itu, mungkin yang dimaksud suami atau wali. Kemudian untuk menentukan siapa diantara kedua itu yang dimaksud pemegang ikatan nikah maka diperlukan bayan.
            Selain yang tersebut diatas, ada lagi mujmal pada tempat kembalinya dhamir yang ihtimal (layak) menunjukan dua segi, sebagaimana sabda Nabi SAW :
لا يمنع أحدكم جاره أن يضع خشبة فى حدره
Janganlah salah seorang diantara kamu menghargai tetangga untuk meletakkan kayu pada dindingnya”.
            Kata-katanya pada dindingnya masih mujamal artinya belum jelas, apakah kembalinya itu kepada dinding orang itu atau kepada tetangganya.
Keterangan:
            Mujamal ini hampir sama dengan ‘am (umum) dan muthlaq. Karena itu, perlu mengetahui perbedaan antara ketiga makna tersebut agar tidak salah menentukan masalahnya.
            Untuk memahami mujmal dan menemukan bagian-bagian dan berbagai bentuknya mutlak diperlukan adanya penjelasan (mubayyin) yang menerangkan makna secara rinci. Tapi sesudah keterangan dan rincian ini, orang masih perlu merenung dan berfikir sebelum sampai pada kesimpulan.
            Banyak ungkapan al-Qur’an mengenai hukum-hukum taklifi yang berbentuk mujmal, yang kemudian oleh Sunnah dijelaskan dan dirincikan ketentuan-ketentuannya. Perintah shalat misalnya, berbentuk mujmal, lalu datanglah Sunnah Nabi dalam bentuk ucapan dan sekaligus tindakan. Demikian pula ibadah haji, sunnahlah yang menjalankan. Seperti terdapat pada sabda Nabi saw:
خُذُوْا عَنِّى مَنَا سِكَكُمْ
            Ambillah dariku amalan amalan haji kalian.
            Soal zakat dan jual beli juga begitu, disebut secara mujmal kemudian Sunnah pula yang menguraikan secara rinci mengenai batasan dan ketentuan-ketentuan, untuk mengatur tata pergaulan antar manusia.
            Demikianlah, tak pernah kita temukan satu mujmal pun kecuali dijelaskan oleh Sunnah dengan merinci ketentuan-ketentuan hukumnya sedemikian rupa sehingga tak ada lagi kekaburan (ibham).
            Menurut kebanyakan ulama, sesudah datangnya keterangan pada mujmal yang dianggap sebagai bagian lafazh (mujaml) tersebut, maka tidak boleh lagi menerapkan ta’wil serta tidak boleh mengenakan takhsish sesudah adanya penjelas (mubayyin). Sebagian ulama berpendapat bahwa setelah diterangkan mujmal menjadi zhahir, kadang menjadi nash atau  mufassar, dan adakalanya menjadi muhkam. Tidak bisa dipastikan bahwa setelah itu otumatis menjadi salah satu dari tiga macam tersebut. Bahkan ada yang menyatakan bahwa setelah adanya keterangan mujmal kadang-kadang menjadi musykil. Untuk kasus ini mereka mengajukan contoh sabda nabi perihal riba:
اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِاالْفِضَّةِ وَالْبُرِّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِوَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ مَثَلًا بِمِثْلِ سَوَآءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَاِذَاخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْاَشْيَاءُ فَبَيِّعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ
“jual beli atau barter antara emas dengan emas, perak dengan perak, gandum burr dengan gandum burr, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, korma dengan korma dan garam dengan garam (maka masing-masing barang itu harus) sama kontan. Apabila (salah satu dari) benda-benda ini diperjual belikan dengan benda lain, maka juallah dengan cara bagaimanapun yang kamu suka”
Hadis ini mereka pandang sebagai penjelasan dan rincian terhadap kata riba  yang terdapat dalam firman Allah:
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لَايَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِى يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ الْمَسِّ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit jiwa” (Q.S. al-Baqarah:275)
Dan bagi mereka, kata riba yang mujmal ini sesudah itu menjadi musykil yang perlu diteliti dan dikenali lebih jauh. Sebabnya, meski telah dijelaskan, toh lafazh itu masih meliputi benda-benda lain yang serupa dengan benda-benda seperti tersebut pada hadis diatas.
Sebenarnya, nash al-Quran dalam masalah riba bukanlah mujmal. Walaupun terdapat kesamaran didalamnya, tapi telah diterangkan oleh sabda Nabi dalam khutbah Wada’ :
 وان ربا الجا هلية موضوع واول ربا ابتدأبه ربا عمى العباس بن عبد المطلبالا
“ingatlah bahwa riba (yang berlaku dimasa) jahiliyah adalah maudhu’ (dibikin-bikin, jadi batal). Dan riba yang pertama kali disinggung oleh Allah (dalam al-Quran) adalah riba pamanku, al-Abbas ibn Abdul muththalib.”
Jadi, riba yang dimaksud didalam al-Quran adalah riba hutang piutang, yakni riba dimana tempo pembayaran hutang dihitung (dinilai) dengan tambahan hutang (bunga). Itulah sebabnya, diakhir ayat riba, Allah berfirman, “jika kamu bertobat maka bagimulah modal hartamu. (Artinya), ambil kembali modal harta yang kamu hutangkan saja, dan janganlah minta bunganya. Itulah cara bertobat dari praktek riba. (Q.S. al-Baqarah). Kalian tidak berbuat zhalim, dan kalian tidak dizhalimi.”
Riba macam ini dinamakan riba nasi’ah (riba tempo). Dan menurut Ibnu Abbas, hanya riba macam inilah yang haram, tidak yang lain.
Adapun riba yang kedua seperti disebut dalam hadis diatas adalah “riba jual beli”—sebutan yang biasa dipakai para ulama. Karena itu mereka biasa meletakkan pembahasan tentang riba ini dalam bab jual beli. Maksud dari penempatan tersebut ialah menjadikan enam benda itu berikut komoditas-komoditas lain yang serupa dengannya—berikut perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai batasan apa saja yang serupa—bukanlah obyek perdagangan kecuali pada lingkup tertentu yang sangat terbatas. Pasalnya, sebagian dari yang keenam komoditas yang diperdagangkan sebab keduanyaadalah alat penilai harga dan alat penimbang barang. Sedang untuk sebagian yang lain, andaikan untuk orang yang diperbolehkan memperdagangkannya secara bebas, tanpa ikatan dan syarat, niscaya lahirlah monopoli dikalangan para produsennya belaka, dan terhalanglah segolongan manusia lainnya.
Ulama sepekat bahwa apabila sudah ada penjelasan (bayan), lafazh mujaml tidak lagi dikatagorekan sebagai mubham sebab dengan adanya dukungan dari penjelasan (bayan) itu berarti ia keluar dari lingkup ibham (kekaburan). Hanya saja, kadang terjadi, sementara ulama yang mengadakan pembahsan tidak mengetahui adanya penjelas (mubayyin) itu sehingga kekaburan itu tetap ada dalam pandangan mereka. Kendati demikian, pada dirinya, lafazh tersebut tidak bisa dibilang kabur: kekaburan telah sirna dengan adanya penjelasan.[3]
            Pada mujaml ini juga terdapat dalam undang-undang Hukum positif. Wakaf itu terdapat dalam fasal 16 peraturan pemerintah tentang masalah hukum Keluarga. Juga syari’ menginginkan supaya hukum ini dikumpulkan, bukan dipisah-pisah, bertahun tahun lamanya masih terasa pengaruh pertikaian bentuk-bentuk yang bersangkut dengan hokum di Mesir. Sampai-sampai syari’. Mesir ikut campur memecahkan masalah ini. Pada alinia kedua, fasal 28 Peraturan Pemerintah mengatur masalah hukum bagi pengadilan. Keputusan pengadilan pada tahun 1927 berbunyi,- demikianlah, tidak dikhususkan oleh pengadilan mempercampurkan dengan pertengkaran yang bersangkut langsung, atau dengan perantara wakaf, atau dengan mensahkannya, atau dengan menafsirkannya, atau melaksanakn sebagian syarat-syaratnya, atau dengan menerangakan pendapat mereka itu.[4]

B.     AL-BAYAN
a.      Pengertian al-bayan
Suatu lafazh yang mempunyai makna tertentu, dan tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebut mubayyan atau nash. Bila mempunyai dua makna atau lebih tanpa dapat diketahui makna yang lebih kuat disebut mujmal. Namun, bila diketahui makna yang lebih tegas dari makna yang ada disebut zhahir.[5]
Al-bayan artinya ialah penjelasan; disini maksudnya ialah menjelaskan lafal atau susunan yang mujmal. Jelasnya ialah:
البيان إخراج الشيء من حيز الإشكال إلى حيز التجلى
“Bayan ialah mengeluarkan sesuatu dari tempat yang sulit kepada tempat yang jelas”.
            Macam-macam bayan:
Bayan itu ada bermacam-macam, sebagai berikut:
1.      Bayan dengan perkataan; sebagaimana firman Allah swt:
ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& Îû Ædkptø:$# >pyèö7yur #sŒÎ) öNçF÷èy_u 3 y7ù=Ï? ×ouŽ|³tã ×'s#ÏB%x.  
Barang siapa tidak dapat (membeli binatang kurban), hendaklah ia berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu kembali; yang demikian itu sepuluh hari sempurna”. (Q.S. al-baqarah :196)
            Lafal tujuh dalam bahasa Arab sering ditunjukkan kepada banyak yang diartikan lebih dari tujuh. Untuk menjelaskan tujuh yang sebenarnya, Allah iringi dengan firman-Nya sepuluh hari yang sempurna.
Penjelasan tujuh yang sebenarnya dalam ayat ini adalah dengan ucapan. Hal ini dinamakan bayan dengan perkataan.
2.      Bayan dengan perbuatan: seperti penjelasan Nabi saw. pada cara-cara shalat dan haji:
صلو كما رأيتمونى أصلى (رواه البخارى)
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”
            Cara shalat ini dijelaskan dengan perbuatan oleh Nabi saw, yakni beliau mengerjakan sebagaimana cara beliau mengerjakan sambil menyuruh orang menirunya. Karena itu, penjelasan semacam ini disebut bayan dengan perbuatan.
3.      Bayan dengan isyarat; misalnya penjelasan Nabi saw. tentang jumlah hari dalam satu bulan. Penjelasan ini diberikan kepada sahabat beliau dengan mengangkat kesepuluh jari tiga kali, yakni 30 hari. Kemudian mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir. Maksudnya bahwa bulan Arab itu kadang-kadang 30 hari atau 29 hari. Penjelasan ini dengan isyarat karena itu disebut bayan dengan isyarat.
4.      Bayan dengan meninggalkan sesuatu; misalnya hadis ibnu Hibban yang menerangkan :
كان آخر الأمرين منه ص م . عدم الوضوء مما مست النار (رواه ابن حبان)
“Adalah akhir dua perkara pada Nabi saw. tidak berwudhu karena makan apa yang dipanaskan api”.
            Hadis ini sebagai penjelasan yang menyatakan bahwa Nabi saw. tidak berwudhu lagi setiap kali selesai makan daging yang dimasak.
5.      Bayan dengan diam; misalnya tatkala Nabi saw, menerangkan wajibnya ibadah haji, ada seorang yang bertanya “Apakah setiap tahun, ya, Rasulullah?” Rasulullah diam tidak menjawab. Diamnya Rasulullah ini berarti menetapkan bahwa kewajiban haji itu tidak tiap-tiap tahun.
b.      Tahirul Bayan
Mengundurkan bayan ini ada dua macam : (1) mengundurkan dari waktu yang dibutuhkan, dan (2) mengundurkan bayan dari waktu turunnya perintah/khithab.
1.      Mengundurkan penjelasan dari waktu dbutuhkan:
تأخير البيان عن وقت الحاجة لايجوز
mengundurkan penjelasan dari waktu dibutuhkan itu tidak boleh”.
Kalau mengundurkan penjelasan ini terjadi, berarti membolehkan mengamalkan sesuatu yang mujmal sebelumnya ada bayan, tegasnya mengamalkan sesuatu dengan cara yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki syara’. Misalnya Fatimah binti Hubaisy dating kepada Rasulullah saw. kemudian bertanya :
يا رسو ل الله إنى امرأة استحاض فلا أطهر أفأدع الصلاة فقال لها ص م. لا إنما ذلك عرق وليست بالحيضة فإذا أقبلت الحيضة فدعى الصلاة وإذ أدبرت فاغسلى عنك الدم و ضلى (متفق عليه)
“Wahai rasulullah, saya ini perempuan yang mengeluarkan darah istihadah, berarti saya tidak berada dalam keadaan suci terus menerus, bolehkah saya meninggalkan shalat? Nabi bersabda: “Jangan, karena hal itu penyakit saja (‘irqun atau keringat) dan bukan haid. Apabila waktu haid tinggalkanlah shalat dan apabila habis waktunya bersihkanlah darah itu (mandilah) dan shalatlah.” (H.R.Bukhari dan Muslim)
Dari hadis ini tidak ada penjelasan (bayan) bahwa perempuan yang istihadah itu wajib bersuci untuk setiap kali shalat. Sebab kalau mereka diwajibkan bersuci tiap kali shalat niscaya Rasulullah saw. telah memberikan penjelasan pada waktu itu juga karena pada saat itulah penjelasan dibutuhkan.
2.      Mengundurkan bayan dari waktu khithab:
تأخير البيان عن وقت الخطاب يجوز
“mengundurkan penjelasan dari waktu khitab itu diperbolehkan”
Artinya, pada waktu turunnya perintah belum ada penjelasan, misalnya firman Allah:
فإذ قرأنه فاتَّبع قرآنه ثم أن علينا بيانه
“apabila kami bacakan (al-Qur’an) ikutilah bacaannya. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.
Lafal tsumma = kemudian berarti ada jarak waktu antara khitab dan penjelasannya. Dengan demikian mengundurkan bayan itu boleh, baik mubayyannya zhahir atau tidak. Misalnya menerangkan cara shalat sesudah adanya khitab aqiimush shalata = dirikanlah olehmu shalat dengan bayan yang datingnya kemudian dari Nabi saw. yang disabdakan dalam hadis shallu kamaa ra’aitumuuni ushalli.[6]

BAB III
PENUTUP
  1. KESIMPULAN
Menurut bahasanya mujmal ialah Tidak terang atau samar-samar Menurut istilah Suatu lafal yang tersembunyi apa yang dimaksud dengannya, sehingga tidak dapat dietahui, kecuali dengan adanya keterangan dari yang mengucapkannya sedangkan dalam arti sederhananya ialah Lafazh yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul didalamnya. Dan kita tidak dapat memahami maknanya tersebut apabila tidak ada penjelasan dari mufassirnya itu sendiri. Sedangkan lafazh mubayyan adalah penjelasan; disini maksudnya ialah menjelaskan lafal atau susunan yang mujmal. Dan bayan ini ada beberapa macam.

Daftar Pustaka
Jasim bin Muhammad Muhalhil yasin. Jalan Pendek Untuk Mengenal Dasar Usul Fiqih. Jakarta, Kalam Mulia : 1990.
Suhartini, Andewi. Usul Piqih. Jakarta, Direktor Jendral Pendidikan Islam : 2009.
Abu Zahrah, Muhammad. Usul Fiqih. Jakarta, Pustaka Firdaus : 2008.
Syekh Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Usul Fiqih. Jakarta, PT Rineka Cipta, : 1999.
Syafe’I, Rachmat. Ilmu Usul Piqih untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung, Pustaka setia.: 2010.
Rifa’I, Moh. Usul Fiqih. Bandung. PT Al-Ma’arif :1972.




[1] Jasim bin Muhammad Muhalhil yasin. Jalan Pendek Untuk Mengenal Dasar Usul Fiqih. Kalam Mulia, Jakarta : 1990. Hal: 127-128.
[2] Dr. Andewi Suhartini, M.Ag. Usul Piqih. Direktor Jendral Pendidikan Islam, Jakarta : 2009. Hal: 129
[3] . Prof. Muhammad Abu Zahrah. Usul Fiqih. Pustaka Firdaus, Jakarta : 2008. Hal: 191-195
[4] . Syekh Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Usul Fiqih. PT Rineka Cipta, Jakarta : 1999. Hal : 216.
[5] . Prof. DR. Rachmat Syafe’i. M.A. Ilmu Usul Piqih untuk UIN, STAIN, PTAIS. Pustaka setia. Bandung: 2010. Hal:150
[6] . Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih. PT Al-Ma’arif. Bandung : 1972. Hal: 92-98.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

ijin copy mas

Posting Komentar