BAB I
PENDAHULUAN
Untuk
menggali hukum terutama hokum syariah, tidak terlepas dari pembahasan kebahasan
karena hampir delapan puluh persen penggalian hukum syari’ah menyangkut lafazh.
Sebenarnya, lafazh-lafazh yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas supaya
tidak membingungkan para pelaku hukum. Namun dalam kenyataannya, petunjuk
(dilalah) lafazh-lafazh yang terdapat dalam nash syara’ itu
beranika ragam. Bahkan, ada yang kurang jelas (khafa). Nah disini saya akan
menjelaskan tentang mujmal dan mubayyan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mujmal
Menurut bahasanya ialah:
اَلْمُبْهَمُ
Tidak terang atau samar-samar.
Menurut
istilah:
لفظ خفي المراد منه بحيث لا
يدرك الا ببيان من المتكلم به
Suatu lafal yang tersembunyi apa yang
dimaksud dengannya, sehingga tidak dapat dietahui, kecuali dengan adanya
keterangan dari yang mengucapkannya[1]
Lafazh mujmal
dalam arti sederhana adalah :
اللفظ الذى ينطوى معناه على
عدة احوال واحكام قد جمعت فيه
Lafazh yang maknanya mengandung beberapa
keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul didalamnya.
Lafazh mujmal ini adalah
lafazh yang samar, karena dari segi sighatnya sendiri tidak menunjukkan arti
yang dimaksud; tidak pula dapat ditemukan qarinah yang dapat menghantarkan kita
memahami maksudnya, tidak mungkin pula dapat difahami arti yang dimaksud
kecuali dengan penjelasan syari’ (pembuat hukum) sendiri. (Amir Syarifuddin,
jilid II, 2008: 20).[2]
Dari definisi tersebut,
dapat difahami bahwa Mujmal itu adalah suatu lafazh yang dzatiahnya
khafi, tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penjelasan dari
syara’ baik ketidak jelasannya itu akibat peralihan lafazh dari makna
yang jelas pada makna khusus yang dikehendaki syara’ ataupun karena sinonim lafazh
itu sendiri ataupun karena lafazh itu ganjil artinya.
Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa mujmal lebih tinggi kadar khafa-nya dari pada musykil,
sebab penjelasan mujmal diperoleh dari syara’ bukan hasil ijtihad.
Contohnya lafazh shalat, menurut bahasa berarti doa, tetapi
menurut istilah syara’ adalah ibadah khusus yang segala sesuatunya dijelaskan
oleh Rasulullah saw.
Dari aspek keharusan
adanya penjelasan dari syara’ tentang lafazh mujmal itu timbul masalah,
yaitu sejauh manakah penjelasan syara’ itu. Sunnah dapat memberikan penjelasan mujmal
sepanjang tidak ada penjelasan nash Al-Quran. Oleh sebab itu untuk
mencari penjelasan mujmal terlebih dahulu harus melihat nash Al-Quran.
Contoh lafal yang mujmal,
sebagaimana firman Allah:
المطلقَّات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
“Perempuan
yang diceraikan suaminya, menantikan iddahnya tiga quru” (Q.S.al-baqarah : 228)
Lafal quru ini disebut mujmal
karena mempunyai dua arti, yaitu haid atau suci. Kemudian mana diantara dua
macam arti yang dikehendaki oleh ayat tersebut maka diperlukan penjelasan,
yaitu bayan. Itulah suatu contoh ijmal dalam lafal tunggal.
Contoh dalam lafal murakkah (susunan
kata-kata) sebagai berikut:
او يعفوالذى بيده عقدة النكاح . (البقره : ۲۳٧)
“Atau
orang yang memegang ikatan pernikahan memaafkan”. (Q.S. Al-Baqarah : 237)
Dalam ayat tersebut masih terdapat Ijmal
tentang menentukan siapakah yang dimaksud orang yang memegang kekuasaan
atas ikatan pernikahan itu, mungkin yang dimaksud suami atau wali. Kemudian
untuk menentukan siapa diantara kedua itu yang dimaksud pemegang ikatan nikah
maka diperlukan bayan.
Selain yang tersebut diatas, ada
lagi mujmal pada tempat kembalinya dhamir yang ihtimal (layak) menunjukan dua
segi, sebagaimana sabda Nabi SAW :
لا يمنع أحدكم جاره أن يضع خشبة فى حدره
“Janganlah salah seorang
diantara kamu menghargai tetangga untuk meletakkan kayu pada dindingnya”.
Kata-katanya pada
dindingnya masih mujamal artinya belum jelas, apakah kembalinya itu kepada
dinding orang itu atau kepada tetangganya.
Keterangan:
Mujamal ini hampir sama dengan ‘am
(umum) dan muthlaq. Karena itu, perlu mengetahui perbedaan antara ketiga makna
tersebut agar tidak salah menentukan masalahnya.
Untuk memahami mujmal dan
menemukan bagian-bagian dan berbagai bentuknya mutlak diperlukan adanya
penjelasan (mubayyin) yang menerangkan makna secara rinci. Tapi sesudah
keterangan dan rincian ini, orang masih perlu merenung dan berfikir sebelum
sampai pada kesimpulan.
Banyak ungkapan al-Qur’an mengenai
hukum-hukum taklifi yang berbentuk mujmal, yang kemudian oleh Sunnah dijelaskan
dan dirincikan ketentuan-ketentuannya. Perintah shalat misalnya, berbentuk
mujmal, lalu datanglah Sunnah Nabi dalam bentuk ucapan dan sekaligus tindakan.
Demikian pula ibadah haji, sunnahlah yang menjalankan. Seperti terdapat pada
sabda Nabi saw:
خُذُوْا عَنِّى مَنَا سِكَكُمْ
Ambillah dariku amalan amalan
haji kalian.
Soal zakat dan jual beli juga
begitu, disebut secara mujmal kemudian Sunnah pula yang menguraikan secara
rinci mengenai batasan dan ketentuan-ketentuan, untuk mengatur tata pergaulan
antar manusia.
Demikianlah, tak pernah kita temukan
satu mujmal pun kecuali dijelaskan oleh Sunnah dengan merinci
ketentuan-ketentuan hukumnya sedemikian rupa sehingga tak ada lagi kekaburan (ibham).
Menurut kebanyakan ulama, sesudah
datangnya keterangan pada mujmal yang dianggap sebagai bagian lafazh
(mujaml) tersebut, maka tidak boleh lagi menerapkan ta’wil serta tidak boleh
mengenakan takhsish sesudah adanya penjelas (mubayyin). Sebagian ulama
berpendapat bahwa setelah diterangkan mujmal menjadi zhahir, kadang menjadi
nash atau mufassar, dan adakalanya
menjadi muhkam. Tidak bisa dipastikan bahwa setelah itu otumatis menjadi salah
satu dari tiga macam tersebut. Bahkan ada yang menyatakan bahwa setelah adanya
keterangan mujmal kadang-kadang menjadi musykil. Untuk kasus ini mereka
mengajukan contoh sabda nabi perihal riba:
اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِاالْفِضَّةِ
وَالْبُرِّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِوَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ
وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ مَثَلًا بِمِثْلِ سَوَآءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَاِذَاخْتَلَفَتْ
هَذِهِ الْاَشْيَاءُ فَبَيِّعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ
“jual
beli atau barter antara emas dengan emas, perak dengan perak, gandum burr
dengan gandum burr, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, korma dengan korma dan
garam dengan garam (maka masing-masing barang itu harus) sama kontan. Apabila
(salah satu dari) benda-benda ini diperjual belikan dengan benda lain, maka
juallah dengan cara bagaimanapun yang kamu suka”
Hadis
ini mereka pandang sebagai penjelasan dan rincian terhadap kata riba yang terdapat dalam firman Allah:
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ
الرِّبَا لَايَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِى يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنْ الْمَسِّ
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit jiwa” (Q.S. al-Baqarah:275)
Dan
bagi mereka, kata riba yang mujmal ini sesudah itu menjadi musykil yang perlu
diteliti dan dikenali lebih jauh. Sebabnya, meski telah dijelaskan, toh lafazh
itu masih meliputi benda-benda lain yang serupa dengan benda-benda seperti
tersebut pada hadis diatas.
Sebenarnya,
nash al-Quran dalam masalah riba bukanlah mujmal. Walaupun terdapat kesamaran
didalamnya, tapi telah diterangkan oleh sabda Nabi dalam khutbah Wada’ :
وان ربا الجا
هلية موضوع واول ربا ابتدأبه ربا عمى العباس بن عبد المطلبالا
“ingatlah
bahwa riba (yang berlaku dimasa) jahiliyah adalah maudhu’ (dibikin-bikin, jadi
batal). Dan riba yang pertama kali disinggung oleh Allah (dalam al-Quran)
adalah riba pamanku, al-Abbas ibn Abdul muththalib.”
Jadi,
riba yang dimaksud didalam al-Quran adalah riba hutang piutang, yakni riba
dimana tempo pembayaran hutang dihitung (dinilai) dengan tambahan hutang
(bunga). Itulah sebabnya, diakhir ayat riba, Allah berfirman, “jika kamu
bertobat maka bagimulah modal hartamu. (Artinya), ambil kembali modal harta
yang kamu hutangkan saja, dan janganlah minta bunganya. Itulah cara bertobat
dari praktek riba. (Q.S. al-Baqarah). Kalian tidak berbuat zhalim, dan kalian
tidak dizhalimi.”
Riba
macam ini dinamakan riba nasi’ah (riba tempo). Dan menurut Ibnu Abbas,
hanya riba macam inilah yang haram, tidak yang lain.
Adapun
riba yang kedua seperti disebut dalam hadis diatas adalah “riba jual
beli”—sebutan yang biasa dipakai para ulama. Karena itu mereka biasa meletakkan
pembahasan tentang riba ini dalam bab jual beli. Maksud dari penempatan
tersebut ialah menjadikan enam benda itu berikut komoditas-komoditas lain yang
serupa dengannya—berikut perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai batasan apa
saja yang serupa—bukanlah obyek perdagangan kecuali pada lingkup tertentu yang
sangat terbatas. Pasalnya, sebagian dari yang keenam komoditas yang
diperdagangkan sebab keduanyaadalah alat penilai harga dan alat penimbang
barang. Sedang untuk sebagian yang lain, andaikan untuk orang yang
diperbolehkan memperdagangkannya secara bebas, tanpa ikatan dan syarat, niscaya
lahirlah monopoli dikalangan para produsennya belaka, dan terhalanglah
segolongan manusia lainnya.
Ulama
sepekat bahwa apabila sudah ada penjelasan (bayan), lafazh mujaml tidak
lagi dikatagorekan sebagai mubham sebab dengan adanya dukungan dari penjelasan
(bayan) itu berarti ia keluar dari lingkup ibham (kekaburan). Hanya saja,
kadang terjadi, sementara ulama yang mengadakan pembahsan tidak mengetahui
adanya penjelas (mubayyin) itu sehingga kekaburan itu tetap ada dalam pandangan
mereka. Kendati demikian, pada dirinya, lafazh tersebut tidak bisa dibilang
kabur: kekaburan telah sirna dengan adanya penjelasan.[3]
Pada mujaml ini juga terdapat dalam
undang-undang Hukum positif. Wakaf itu terdapat dalam fasal 16 peraturan
pemerintah tentang masalah hukum Keluarga. Juga syari’ menginginkan supaya hukum
ini dikumpulkan, bukan dipisah-pisah, bertahun tahun lamanya masih terasa
pengaruh pertikaian bentuk-bentuk yang bersangkut dengan hokum di Mesir.
Sampai-sampai syari’. Mesir ikut campur memecahkan masalah ini. Pada alinia
kedua, fasal 28 Peraturan Pemerintah mengatur masalah hukum bagi pengadilan.
Keputusan pengadilan pada tahun 1927 berbunyi,- demikianlah, tidak dikhususkan
oleh pengadilan mempercampurkan dengan pertengkaran yang bersangkut langsung,
atau dengan perantara wakaf, atau dengan mensahkannya, atau dengan
menafsirkannya, atau melaksanakn sebagian syarat-syaratnya, atau dengan
menerangakan pendapat mereka itu.[4]
B.
AL-BAYAN
a.
Pengertian
al-bayan
Suatu
lafazh yang mempunyai makna tertentu, dan tidak mempunyai kemungkinan makna
lain disebut mubayyan atau nash. Bila mempunyai dua makna atau
lebih tanpa dapat diketahui makna yang lebih kuat disebut mujmal. Namun,
bila diketahui makna yang lebih tegas dari makna yang ada disebut zhahir.[5]
Al-bayan
artinya ialah penjelasan; disini maksudnya ialah menjelaskan lafal atau susunan
yang mujmal. Jelasnya ialah:
البيان إخراج الشيء من حيز
الإشكال إلى حيز التجلى
“Bayan
ialah mengeluarkan sesuatu dari tempat yang sulit kepada tempat yang jelas”.
Macam-macam bayan:
Bayan itu ada
bermacam-macam, sebagai berikut:
1. Bayan dengan perkataan; sebagaimana firman Allah swt:
ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$r& Îû Ædkptø:$# >pyèö7yur #sÎ) öNçF÷èy_u 3 y7ù=Ï? ×ou|³tã ×'s#ÏB%x.
“Barang siapa tidak dapat (membeli binatang
kurban), hendaklah ia berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila
kamu kembali; yang demikian itu sepuluh hari sempurna”. (Q.S.
al-baqarah :196)
Lafal tujuh dalam bahasa Arab sering
ditunjukkan kepada banyak yang diartikan lebih dari tujuh. Untuk menjelaskan
tujuh yang sebenarnya, Allah iringi dengan firman-Nya sepuluh hari yang
sempurna.
Penjelasan
tujuh yang sebenarnya dalam ayat ini adalah dengan ucapan. Hal ini dinamakan
bayan dengan perkataan.
2. Bayan dengan perbuatan: seperti penjelasan Nabi saw. pada cara-cara
shalat dan haji:
صلو كما رأيتمونى
أصلى (رواه البخارى)
“Shalatlah
kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”
Cara shalat ini dijelaskan
dengan perbuatan oleh Nabi saw, yakni beliau mengerjakan sebagaimana cara
beliau mengerjakan sambil menyuruh orang menirunya. Karena itu, penjelasan
semacam ini disebut bayan dengan perbuatan.
3. Bayan dengan isyarat; misalnya penjelasan Nabi saw. tentang jumlah hari
dalam satu bulan. Penjelasan ini diberikan kepada sahabat beliau dengan
mengangkat kesepuluh jari tiga kali, yakni 30 hari. Kemudian mengulanginya
sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir. Maksudnya bahwa bulan
Arab itu kadang-kadang 30 hari atau 29 hari. Penjelasan ini dengan isyarat
karena itu disebut bayan dengan isyarat.
4. Bayan dengan meninggalkan sesuatu; misalnya hadis ibnu Hibban yang
menerangkan :
كان آخر الأمرين
منه ص م . عدم الوضوء مما مست النار (رواه ابن حبان)
“Adalah akhir dua perkara pada Nabi saw.
tidak berwudhu karena makan apa yang dipanaskan api”.
Hadis ini
sebagai penjelasan yang menyatakan bahwa Nabi saw. tidak berwudhu lagi setiap
kali selesai makan daging yang dimasak.
5. Bayan dengan diam; misalnya tatkala Nabi saw, menerangkan wajibnya ibadah
haji, ada seorang yang bertanya “Apakah setiap tahun, ya, Rasulullah?”
Rasulullah diam tidak menjawab. Diamnya Rasulullah ini berarti menetapkan bahwa
kewajiban haji itu tidak tiap-tiap tahun.
b.
Tahirul
Bayan
Mengundurkan bayan ini ada
dua macam : (1) mengundurkan dari waktu yang dibutuhkan, dan (2) mengundurkan
bayan dari waktu turunnya perintah/khithab.
1.
Mengundurkan penjelasan
dari waktu dbutuhkan:
تأخير
البيان عن وقت الحاجة لايجوز
“mengundurkan
penjelasan dari waktu dibutuhkan itu tidak boleh”.
Kalau mengundurkan
penjelasan ini terjadi, berarti membolehkan mengamalkan sesuatu yang mujmal sebelumnya
ada bayan, tegasnya mengamalkan sesuatu dengan cara yang tidak sesuai
dengan yang dikehendaki syara’. Misalnya Fatimah binti Hubaisy dating kepada
Rasulullah saw. kemudian bertanya :
يا رسو ل الله إنى امرأة استحاض فلا أطهر أفأدع الصلاة فقال لها ص م. لا
إنما ذلك عرق وليست بالحيضة فإذا أقبلت الحيضة فدعى الصلاة وإذ أدبرت فاغسلى عنك
الدم و ضلى (متفق عليه)
“Wahai
rasulullah, saya ini perempuan yang mengeluarkan darah istihadah, berarti saya
tidak berada dalam keadaan suci terus menerus, bolehkah saya meninggalkan shalat?
Nabi bersabda: “Jangan, karena hal itu penyakit saja (‘irqun atau keringat) dan
bukan haid. Apabila waktu haid tinggalkanlah shalat dan apabila habis waktunya
bersihkanlah darah itu (mandilah) dan shalatlah.” (H.R.Bukhari dan Muslim)
Dari hadis ini tidak ada penjelasan (bayan) bahwa
perempuan yang istihadah itu wajib bersuci untuk setiap kali shalat. Sebab
kalau mereka diwajibkan bersuci tiap kali shalat niscaya Rasulullah saw. telah
memberikan penjelasan pada waktu itu juga karena pada saat itulah penjelasan
dibutuhkan.
2. Mengundurkan bayan dari waktu khithab:
تأخير البيان عن وقت الخطاب يجوز
“mengundurkan penjelasan
dari waktu khitab itu diperbolehkan”
Artinya, pada waktu turunnya perintah belum ada penjelasan, misalnya
firman Allah:
فإذ قرأنه فاتَّبع قرآنه ثم أن علينا بيانه
“apabila kami bacakan
(al-Qur’an) ikutilah bacaannya. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan kamilah
penjelasannya.
Lafal tsumma = kemudian berarti ada jarak waktu
antara khitab dan penjelasannya. Dengan demikian mengundurkan bayan itu
boleh, baik mubayyannya zhahir atau tidak. Misalnya menerangkan cara
shalat sesudah adanya khitab aqiimush shalata = dirikanlah olehmu shalat
dengan bayan yang datingnya kemudian dari Nabi saw. yang disabdakan dalam hadis
shallu kamaa ra’aitumuuni ushalli.[6]
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Menurut
bahasanya mujmal ialah Tidak terang atau samar-samar Menurut istilah Suatu
lafal yang tersembunyi apa yang dimaksud dengannya, sehingga tidak dapat
dietahui, kecuali dengan adanya keterangan dari yang mengucapkannya sedangkan
dalam arti sederhananya ialah Lafazh yang maknanya mengandung beberapa keadaan
dan beberapa hukum yang terkumpul didalamnya. Dan kita tidak dapat memahami
maknanya tersebut apabila tidak ada penjelasan dari mufassirnya itu sendiri.
Sedangkan lafazh mubayyan adalah penjelasan; disini maksudnya ialah menjelaskan
lafal atau susunan yang mujmal. Dan bayan ini ada beberapa macam.
Daftar Pustaka
Jasim bin Muhammad Muhalhil yasin. Jalan Pendek Untuk Mengenal Dasar Usul
Fiqih. Jakarta, Kalam Mulia : 1990.
Suhartini, Andewi. Usul Piqih. Jakarta, Direktor Jendral Pendidikan Islam
: 2009.
Abu Zahrah, Muhammad. Usul Fiqih. Jakarta, Pustaka Firdaus : 2008.
Syekh Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Usul Fiqih. Jakarta, PT Rineka Cipta, :
1999.
Syafe’I, Rachmat. Ilmu Usul Piqih untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung, Pustaka
setia.: 2010.
Rifa’I, Moh.
Usul Fiqih. Bandung. PT Al-Ma’arif :1972.
[1] Jasim bin Muhammad Muhalhil yasin. Jalan Pendek Untuk Mengenal Dasar Usul
Fiqih. Kalam Mulia, Jakarta : 1990. Hal: 127-128.
[2] Dr. Andewi
Suhartini, M.Ag. Usul Piqih. Direktor Jendral Pendidikan Islam, Jakarta : 2009.
Hal: 129
[4] . Syekh Abdul
Wahab Khallaf. Ilmu Usul Fiqih. PT Rineka Cipta, Jakarta : 1999. Hal : 216.
[5] . Prof. DR. Rachmat Syafe’i. M.A. Ilmu Usul Piqih untuk UIN, STAIN,
PTAIS. Pustaka setia. Bandung: 2010. Hal:150
[6] . Drs. Moh.
Rifa’i. Usul Fiqih. PT Al-Ma’arif. Bandung : 1972. Hal: 92-98.
1 komentar:
ijin copy mas
Posting Komentar